Komunikasi Lintas Budaya: Sahala Nainggolan
Tugas Akhir
Mata Kuliah : Penggembalaan Lintas Budaya
Program :
Magister Teologi
PT : STT Bethesda Bekasi
PT : STT Bethesda Bekasi
Mahasiswa :
Sahala Nainggolan
Dosen :
Dr. Yonas Muanley, M.Th.
Pengantar Dosen
Tugas Akhir ini merupakan pemantapan dari tugas awal dengan topik yang telah dipilih mahasiswa, dan telah dipresentasikan dalam ruang kuliah. Kemudian tugas awal dimantapkan/didalami lagi untuk kemudian dikumpulkan sebagai tugas akhir
Adapun tugas akhir Saudara Sahala Nainggolan adalah "Komunikasi Lintas Budaya" (KLB). Komunikasi Lintas Budaya merupakan salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pelayanan pastoral yang bersifat lintas budaya. Maka jelaslah bahwa, para gembala atau pendeta, anggota jemaat yang melayani di kota-kota besar seperti Bekasi, Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia tidak dapat mengabaikan pelayanan terhadap anggota jemaatnya/sesama anggota jemaat yang beragam budaya. Di kota-kota besar, di jemaat-jemaat lokal, para anggota jemaatnya berasal dari berbagai budaya, dengan kata lain jemaatnya multikultur. Dalam konteks ini komunikasi lintas budaya tidak dapat diabaikan. Salah satu tugas gereja yang memerlukan komunikasi adalah tugas penggembalaan. Komunikasi lintas budaya tidak hanya dipelajari untuk pelayanan antar pulau, antar negara, antar benua, tetapi juga dalam jemaat lokal di kota-kota besar. Apa dan bagaimana komunikasi lintas budaya yang hendak diperhatikan dalam tugas pelayanan penggembalaan lintas budaya? Jawabannya simak dalam tugas mahasiswa yaitu Sahala Nainggolan berikut ini.
Adapun tugas akhir Saudara Sahala Nainggolan adalah "Komunikasi Lintas Budaya" (KLB). Komunikasi Lintas Budaya merupakan salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pelayanan pastoral yang bersifat lintas budaya. Maka jelaslah bahwa, para gembala atau pendeta, anggota jemaat yang melayani di kota-kota besar seperti Bekasi, Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia tidak dapat mengabaikan pelayanan terhadap anggota jemaatnya/sesama anggota jemaat yang beragam budaya. Di kota-kota besar, di jemaat-jemaat lokal, para anggota jemaatnya berasal dari berbagai budaya, dengan kata lain jemaatnya multikultur. Dalam konteks ini komunikasi lintas budaya tidak dapat diabaikan. Salah satu tugas gereja yang memerlukan komunikasi adalah tugas penggembalaan. Komunikasi lintas budaya tidak hanya dipelajari untuk pelayanan antar pulau, antar negara, antar benua, tetapi juga dalam jemaat lokal di kota-kota besar. Apa dan bagaimana komunikasi lintas budaya yang hendak diperhatikan dalam tugas pelayanan penggembalaan lintas budaya? Jawabannya simak dalam tugas mahasiswa yaitu Sahala Nainggolan berikut ini.
BAB I
PENDAHULUAN
Masyarakat
Indonesia sejak dulu sudah dikenal sangat heterogen dalam berbagai aspek, seperti adanya
keberagaman suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat
dan sebagainya. Di lain pihak, perkembangan dunia yang sangat pesat saat ini dengan mobilitas dan dinamika yang
sangat tinggi, telah menyebabkan dunia menuju
ke arah global yang
hampir tidak memiliki batas-batas lagi
sebagai akibat dari perkembangan teknologi modern.
Oleh
karenanya masyarakat (dalam arti luas) harus sudah
siap menghadapi situasi-situasi baru dalam
konteks keberagaman kebudayaan atau apapun namanya. Interaksi dan komunikasi harus pula berjalan satu
dengan yang lainnya, adakah sudah saling mengenal
atau pun belum pernah sama sekali berjumpa apalagi berkenalan.
Dalam
berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan
yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya
saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Pada hal
syarat untuk terjalinya hubungan itu tentu saja
harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya. Dari itu mempelajari
komunikasi dan budaya merupakan satu hal yang
tidak dapat dipisahkan.
Komunikasi
dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari
prilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi
pun turut menentukan memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T.
Hall bahwa komunikasi adalah Budaya dan Budaya
adalah komunikasi. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma
budaya masyarakat, baik secara “horizontal” dari
suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke
generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya merupakan norma-norma atau
nilai-nilai yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.
Pentingnya
peranan komunikasi dan budaya maupun sebaliknya, maka perlu sebagai hamba Tuhan mempelajari situasi dan budaya dimana
jemaat atau tempat kita melayani adalah suatu keadaan yang multiliteral.
Hal tersebut bukan sampai disitu saja, akan tetapi jemaat
atau masyarakat yang ada disekitar kita atau yang kita gembalain, belum tentu
juga memiliki budaya dimana ia berada. Hal ini disebabkan bisa saja ia sebagai
pendatang didaerah tersebut dan membawa budayanya sendiri. Contoh suku Batak
yang tinggal di kota Jakarta. Mereka masih memengang budaya mereka dalam
berbagai acara seperti kematian, pernikahan. Mereka tinggal di kota Jakarta,
tapi tidak menggunakan budaya Betawi. Hal-hal ini yang perlu dicermati oleh seorang
gembala sidang dalam korelasinya terhadap budaya. Hal ini supaya pelayanan
lebih efektif.
BAB II
PEMBAHASAN
KOMUNIKASI LINTAS
BUDAYA
A.
PENGERTIAN
KOMUNIKASI LINTAS
BUDAYA
Kata “budaya”
berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk
jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “kaal”. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai “ hal-hal yang
berkaitan dengan budi atau akal”.
Istilah culture,
yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan
kebudayaan, berasal dari kata “colere” yang artinya
adalah “mengolah atau mengerjakan”,
yaitu dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang
kemudian berubah menjadi ulture diartikan sebagai
“segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam” (Soekanto, 1996:188).
Seorang
Antropolog yang bernama E.B. Taylor (1871), memberikan defenisi mengenai kebudayaan yaitu “kebudayaan
adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat,
lain kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat”. (Soekanto, 1996:189).
Berbicara
mengenai komunikasi lintas budaya, maka kita harus melihat dulu beberapa defenisi yang dikutif oleh Ilya
Sunarwinadi (1993:7-8) berdasarkan pendapat
para ahli antara lain :
a.
Sitaram (1970) : Seni untuk memahami dan
saling pengertian antara khalayak yang
berbeda kebudayaan.
b.
Samovar dan Porter (1972) : Komunikasi
antar budaya terjadi manakalah bagian yang
terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut membawa serta latar belakang budaya pengalaman yang berbeda yang
mencerminkan nilai yang dianut oleh kelompoknya
berupa pengalaman, pengetahuan, dan nilai.
c.
Rich (1974) : Komunikasi antar budaya
terjadi ketika orang-orang yang berbeda kebudayaan.
d.
Stewart (1974) : Komunikasi antara
budaya yang mana terjadi dibawah suatu kondisi
kebudayaan yang berbeda bahasa, norma-norma, adat istiada dan kebiasaan.
e.
Sitaram dan Cogdell (1976) : Komunikasi
antar budaya …interaksi antara para anggota
kebudayaan yang berbeda.
f.
Carley H.Dood (1982) : Komunikasi antar
budaya adalah pengiriman dan penerimaan
pesan-pesan dalam konteks perbedaan kebudayaan yang menghasilkan
efek-efek yang berbeda.
g.
Young Yun Kim (1984) : Komunikasi antar
budaya adalah suatu peristiwa yang merujuk
dimana orang – orang yang terlibat di dalamnya baik secara langsung maupun tak tidak langsung memiliki latar
belakang budaya yang berbeda.
Seluruh defenisi
diatas dengan jelas menerangkan bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya
proses komunikasi lintas budaya. Komunikasi antar budaya memang mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai
persamaan dan perbedaan dalam karakteristik
kebudayaan antar pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap proses
komunikasi individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan dan
mencoba untuk melakukan interaksi.
Komunikasi dan
budaya yang mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian
dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya
komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Pada satu sisi,
komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk
mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat,
baik secara horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari
suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain
budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.
Timbul pertanyaan, mengapa kita
mempelajari Komunikasi Lintas Budaya?
- untuk menghindari gegar budaya.
- untuk menghindari kesalahpahaman
- untuk mengindari pertentangan budaya yang satu dengan yang lain.
B.
DEMENSI-DEMENSI KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA (KLB)
Dalam suatu
kebudayaan yang ada, pasti memiliki ciri-ciri kebudayaan yang satu berbeda
dengan ciri-ciri
budaya di daerah lain.
·
budaya bukan bawaan tetapi dapat
dipelajari
·
budaya dapat disampaikan dari orang ke
orang, kelompok ke kelompok dan dari generasi ke generasi.
·
budaya berdasarkan symbol
·
budaya bersifat
dinamis, suatu system yang terus berubah sepanjang waktu
·
budaya bersifat
selektif, mereprentasikan pola-pola perilaku pengalaman manusia yang jumlahnya
terbatas
·
berbagai unsur
budaya saling berkaitan
·
etnosentrisme.
Dari tema pokok
demikian, maka perlu pengertian – pengertian operasional dari kebudayaan dan kaitannya dengan KLB.
Untuk mencari kejelasan dan mengintegrasikan
berbagai konseptualisasi tentang kebudayaan komunikasi antar budaya, ada 3 dimensi yang perlu
diperhatikan (kim. 1984 : 17-20).
(1)
Tingkat
masyarakat kelompok budaya dari partisipan-partisipan komunikasi.
Istilah
kebudayaan telah digunakan untuk menunjuk pada macam-macam tingkat lingkungan dan kompleksitas dari
organisasi sosial. Umumnya istilah kebudayaan
mencakup :
a. Kawasan
– kawasan di dunia, seperti : budaya timur/barat.
b. Sub
kawasan-kawasan di dunia, seperti : budaya Amerika Utara atau Asia Tenggara,
c. Kawasan Nasional/Negara,
seperti, : Budaya Indonesia, Perancis atau Jepang.
d. Kelompok-kelompok
etnik-ras dalam negara seperti : budaya orang Amerika
Hitam, budaya Amerika Asia, budaya
Cina Indonesia,
e. Macam-macam
subkelompok sosiologis berdasarkan kategorisasi jenis kelamin
kelas sosial. Countercultures (budaya Happie, budaya orang di penjara, budaya gelandangan, budaya
kemiskinan).
Perhatian
dan minat dari ahli-ahli KAB banyak meliputi komunikasi antar individu–individu dengan kebudayaan nasional
berbeda (seperti wirausaha Jepang
dengan wirausaha Amerika/Indonesia) atau antar individu dengan kebudayaan ras-etnik berbeda (seperti
antar pelajar penduduk asli dengan guru
pendatang). Bahkan ada yang lebih mempersempit lagi pengertian pada “kebudayaan individual” karena
seperti orang mewujudkan latar belakang
yang unik.
(2) Konteks sosial tempat terjadinya KLB,
Macam
KLB dapat lagi diklasifikasi berdasarkan
konteks sosial dari terjadinya. Yang
biasanya termasuk dalam studi KLB :
a. Business
b Organizational
c. Pendidikan
d. Alkulturasi
imigran
e. Politik
|
f Penyesuaian
perlancong/ pendatang sementara
g. Perkembangan
alih teknologi/pembangunan/ difusi
inovasi
h. Konsultasi
terapis.
|
Komunikasi
dalam semua konteks merupakan persamaan dalam hal unsur- unsur dasar dan proses komunikasi
manusia (transmitting, receiving, processing).
Tetapi adanya pengaruh kebudayaan yang tercakup dalam latar belakang pengalaman individu membentuk
pola-pola persepsi pemikiran.
Jadi
konteks sosial khusus tempat terjadinya KLB
memberikan pada para partisipan
hubungna-hubungan antar peran. Ekpektasi, norma-norma dan aturan-aturan tingkah laku yang khusus.
(3) Saluran yang dilalui oleh pesan-pesan KLB (baik yang bersifat verbal maupun nonverbal).
Dimensi
lain yang membedakan KAB ialah saluran melalui mana KAB terjadi. Secara garis besar, saluran dapat dibagi
atas :
a. Antar pribadi/interpersonal/person-person,
b. Media
massa.
C.
TUJUAN MEMPELAJARI BUDAYA
- Menyadari bias budaya sendiri
- Lebih peka secara budaya
- Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain untuk menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan orang tersebut.
- Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri
- Memperluas dan memperdalam pengalaman seseorang
- Mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima gaya dan isi komunikasinya sendiri.
- Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya
- Membantu memahami kontak antar budaya sebagai suatu cara memperoleh pandangan ke dalam budaya sendiri: asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasan-kebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya.
- Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang komunikasi antar budaya.
- Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dibandingkan, dan dipahami.
Dodd (1982)
membagi situasi perbedaan antar budaya, khususnya yang biasa
dimasukkan ke dalam pengertian komunikasi subbudaya (Subcultural Communications) ke dalam :
(1)
Interethnic Communication:
Yaitu
komunikasi antara dua atau lebih orang dari luar latar belakang etnik yang berbeda)”…. Communications between two
or more persons from different ethnic backgrounds”).
Kelompok etnik adalah kumpulan orang yang dapat dikenal secara
unik dari warisan tradisi kebudayaan yang sama, yang seringkali asalnya bersifat nasional.
Contohnya
di AS : Italian American, Polish American. Mexican American, Puerto Rican American. Di Indonesia, tentunya
yang dimaksud dengan kelompok etnik ialah
berbagai suku bangsa yang ada dalam wilayah negara Indonesia, seperti : Suku Jawa, Sunda, Batak, Minang, dll,
yang bisa melampaui batas subwilayah secara
geografik.
(2)
Interracial Communication
Yakni
komunikasi antara dua atau lebih orang dari latar belakang ras yang berbeda (“communication between two or
more persons of differing racial background”).
Sedangkan ras yang diartikannya sebagai ciri-ciri penampilan fisik yang diturunkan dan diwariskan secara
genetik. Pokok perhatian yang penting disini
adalah bahwa perbedaan-perbedaanras menyebabkan perbedaan-perbedaan perseptual
yang menghambat berlangsungnya komunikasi, bahkan sebelum
ada sama sekali usaha untuk berkomunikasi.
(3)
Countercultural Communinication :
Melibatkan
orang-orang dari budaya asal atau pokok yang berkomunikasi dengan orang-orang dari subbudaya yang terdapat
dalam budaya pokok tadi (“….involves persons
from a parent culture communication with persons from subcultures within the parent culture”). Dengan
mengutip perumusan Prosser tentang Countercultural
Communication (lihat di depan), Dodd pada pokoknya menekankan
sifat dari subbudaya pada situasi khusus antar budaya di sini yang menolak nilai-nilai yang sudah diakui
masyarakat luas (‘establisment values’) saat
ini.
(4)
Social Class Communication:
Beberapa
perbedaan antara orang-orang adalah berdasarkan atas status yang ditentukan oleh pendapatan, pekerjaan
dan pendidikan. Perbedaan ini menciptakan
kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Menyertai perbedaan ini adalah perbedaan dalam hal pandangan,
adat kebiasaan dan lain sebagainya. Walaupun
dalam beberapa hal tertentu kelas-kelas sosial ini memiliki bersama aspek-aspek kebudayaan pokoknya.
(5)
Group Membership :
Merupakan
unit-unit subbudaya yang cukup menonjol. Berdasarkan homogenitas dalam karakteristik – karakteristik
ideologik, ditambah dengan loyalits kelompok, banyak
perbedaan-perbedaan antar kelompok yang meletus menjadi konflik serius. Misalnya perang antara kaum
protestan dan katolik di Irlandia Utara atau perang
antara penganut agama Islam dan Kriten di Libanon. Juga faktor – factor jenis kelamin, tempat tinggal (seperti
daerah rural atau urban) dan umur dapat menentukan
perbedaan – perbedaan kelompok (group) ini.
Selain pembagian
mengenai perbedaan antar subbudaya tersebut, Dodd juga
merumuskan International Communication sebagai komunikasi antara negara- negara oleh media massa, cara-cara
diplomatik dan saluran-saluran antar pribadi lainnya.
Yang menjadi titik pusat perhatian disini bukanlah bentuk dari pesan, melainkan kenyataan bahwa
variabel-variabel geografik politik dan nasionalitas mendominasi
transaksi yang terjadi. Contohnya adalah perjanjian perdamaian di Paris, Perjanjian perdamaian di Camp
David, sebagai contoh dari konperensi tingkat tinggi
antar negara, serta kegiatan yang dilakukan oleh VOA.
Dua istilah yang
paling sering digunakan secara berganti-ganti, untuk menunjuk
pada suatu pengertian yang sama ialah “Crosscultural Communication” dan “Interncultural Communication”.
Tetapi ada sementara ilmuwan yang membuat perbedaan
mendasar antara keduanya, seperti Prosser, Howel dan Kim.
CROOSCULTURAL COMMUNICATION
Komunikasi
secara kolektif antara anggota
kelompok–kelompok orang yang menjadi pendukung kebudayaan
yang berbeda.
“A
comparison of some phenomena
across culutres”
|
INTERCULTURAL COMMUNICATION
Komunikasi antar personal (pribadi) pada tingkat individu antara anggota kelompok-kelompok
budaya yang berbeda.
“Interaction between people from different cultures”
|
D. KAITAN ANTARA KOMUNIKASI DAN KEBUDAYAAN
Dari berbagai definisi
tentang KAB seperti yang telah dibahas sebelumnya, dampak
bahwa unsur pokok yang mrndasari proses KAB ialah konsep-konsep tentang “Kebudayaan” dan “Komunikasi”.
Hal ini pun digarisbawahi oleh Sarbaugh (1979:2)
dengan pendapatnya bahwa pengertian tentang komunikasi antar budaya memerlukan suatu pemahaman tentang
konsep-konsep komunikaasi dan kebudayaan
serta saling ketergantungan antara keduanya. Saling ketergantungan ini terbukti, menurut Serbaugh, apabila
disadari bahwa:
1.
Pola-pola komunikasi yang khas dapat
berkembang atau berubah dalam suatu
kelompok kebudayaan khusus tertentu.
2.
Kesamaan tingkah laku antara satu
generasi dengan generasi berikutnya hanya dimungkinkan
berkat digunakannya sarana-sarana komunikasi.
Sementara Smith
(1966) menerangkan hubungan yang tidak terpisahkan antara
komunikasi dan kebudayaan yang kurang lebih sebagai berikut: Kebudayaan merupakan suatu kode atau kumpulan
peraturan yang dipelajari dan dimiliki bersama;
untuk mempelajari dan memiliki bersama diperlukan komunikasi, sedangkan komunikasi memerlukan
kode-kode dan lambang-lambang yang harus dipelajari
dan dimiliki bersama.
Hubungan antara
individu dan kebudayaan saling mempengaruhi dan saling menentukan.
Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui aktifitas komunikasi para individu anggotanya. Secara
kolektif prilaku mereka secara bersama-sama menciptakan
realita (kebudayaan) yang mengikat dan harus dipatuhi oleh individu agar dapat menjadi bagian dari unit.
Maka jelas bahwa antara komunikasi dan kebudayaan
terjadi hubungan yang sangat erat:
- Disatu pihak, jika bukan karena kemampuan manusia untuk menciptakan bahasa simbolik, tidak dapat dikembangkan pengetahuan, makna, simbol-simbol, nilai-nilai, aturan-aturan dan tata, yang memberi batasan dan bentuk pada hubungan-hubungan , organisasi-organisasi dan masyarakat yang terus berlangsung. Demikian pula, tanpa komunikasi tidak mungkin untuk mewariskan unsur-unsur kebudayaan dari satu generasi kegenerasi berikutnya, serta dari satu tempat ke tempat lainnya. Komunikasi juga merupakan sarana yang dapat menjadikan individu sadar dan menyesuaikan diri dengan subbudaya-subbudaya dan kebudayaan-kebudayaan asing yang dihadapinya. Tepat kiranya jika dikatakan bahwa kebudayaan dirumuskan, dibentuk, ditransmisikan daan dipelajari melalui komunikasi.
- Sebaliknya, pola-pola berpikir, berprilaku, kerangka acuan dari individu-individu sebahagian terbesar merupakan hasil penyesuaina diri dengan cara-cara khusus yang diatur dan dituntut oleh sistem sosial dimana mereka berada. Kebudayaan tidak saja menentukan siapa dapat berbicara dengan siapa, mengenai apa dan bagaimana komunikasi sebagainya berlangsung, tetapi juga menentukan cara mengkode atau menyandi pesan atau makna yang dilekatkan pada pesan dan dalam kondisi bagaimana macam-macam pesan dapat dikirimkan dan ditafsirkan.
Singkatnya,
keseluruhan prilaku komunikasi individu terutama tergantung pada kebudayaanya. Dengan kata lain,
kebudayaan merupakan pondasi atau
landasan bagi komunikasi. Kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan
praktek-praktek komunikasi yang berbeda pula.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian
yang diatas, maka dapat kita simpulkan kenapa kita harus belajar Komunikasi
Lintas Budaya.
1. Dunia sedang menyusut dan kapasitas untuk memahami
keanekaragaman budaya sangat diperlukan.
2. Semua budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut meskipun nilai-nilainya berbeda.
2. Semua budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut meskipun nilai-nilainya berbeda.
3. Nilai-nilai setiap masyarakat se”baik” nilai-nilai
masyarakat lainnya.
4. Setiap individu dan/atau budaya berhak menggunakan
nilai-nilainya sendiri.
5. Perbedaan-perbedaan individu itu penting, namun ada
asumsi-asumsi dan pola-pola budaya mendasar yang berlaku.
6. Pemahaman atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan
prasyarat untuk mengidentifikasi dan memahami nilai-nilai budaya lain.
7. Dengan mengatasi hambatan-hambatan budaya untuk
berhubungan dengan orang lain kita memperoleh pemahaman dan penghargaan bagi
kebutuhan, aspirasi, perasaan dan masalah manusia.
8. Pemahaman atas orang lain secara lintas budaya dan antar
pribadi adalah suatu usaha yang memerlukan keberanian dan kepekaan. Semakin
mengancam pandangan dunia orang itu bagi pandangan dunia kita, semakin banyak
yang harus kita pelajari dari dia, tetapi semakin berbahaya untuk memahaminya.
10. Keterampilan-keterampilan
komunikasi yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang dari pandangan yang
monokultural terhadap interaksi manusia ke pand
angan multikultural.
angan multikultural.
11. Perbedaan-perbedaan budaya
menandakan kebutuhan akan penerimaan dalam komunikasi, namun
perbedaan-perbedaan tersebut secara arbitrer tidaklah menyusahkan atau
memudahkan.
12. Situasi-situasi komunikasi
antar budaya tidaklah statik dan bukan pula stereotip. Karena itu seorang
komunikator tidak dapat dilatih untuk mengatasi situasi. Dalam konteks ini
kepekaan, pengetahuan dan keterampilannya bisa membuatnya siap untuk berperan
serta dalam menciptakan lingkungan komunikasi yang efektif dan saling
memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA
- Leach, Edmund. Culture and Communication, The Logic by which symbols are connected. Cambridge University Press. 1976
- Liliweri, Alo. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001
- Mulyana, Deddy, Jalaluddin Rakhmat. (Editor) Komunikasi antar Budaya. Panduan berkomunikasi dengan orang-orang berbeda budaya. Bandung: Remaja Rosda Karya. 1996
- Samovar, Larry A, Richard E Porter. Communication Between Cultures. 5th edition, Thomson wadsworth. 2004
- Varner, Iris, Linda Beamer. Intercultural Communication in The Global Workplace. 3rd edition. Mcgraw-Hill International. 2005
Leave a Comment